“BERAPA NILAI GAMBARMU, NAK?”

Oleh

Jajang Suryana

 

Beranikah seorang guru memberi nilai 10 untuk gambar yang dibuat olah anak didiknya? Ada guru yang bilang: ”Nilai 10, kan untuk gurunya!” Beberapa mata ajar yang “tak mungkin” bernilai 10, antara lain: Kesenian (Seni Rupa, Seni Suara, dan Seni Tari), Olah Raga, dan Mengarang (kalau masih ada!).

 

 

SISTEM PENILAIAN

 

Boleh jadi, sangat jarang orang tua yang faham betul bagaimana sulit dan sibuknya seorang guru. Apalagi seorang guru kelas seperti guru SD. Bayangkan, seorang guru  kelas di sekoah dasar (SD), harus mempersiapkan semua kegiatan pembelajaran secara  sendirian. Guru kelas bertanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan proses  pembelajaran di kelas setiap hari. Mereka harus memersiapkan semua mata ajar supaya  bisa disampaikan kepada anak didik secara merata. Sedikitnya, setiap hari, ada tiga mata  ajar yang harus mereka paparkan kepada anak didik. Mereka hanya “berbagi” mata ajar dengan guru Agama dan Olah Raga. Guru Agama dan Olah Raga, biasanya, adalah guru khusus, hanya menangani mata ajar tersebut.

Tiga mata ajar dalam sehari, berarti tiga buah persiapan mengajar tertulis (wajib, tuntutan  dari atasan para guru). Di samping membuat persiapan mengajar, para guru harus  menyediakan media pembelajaran dan alat evaluasi. Terlebih guru kelas I. Guru kelas I  adalah guru yang harus memiliki kesabaran lebih menghadapi kondisi siswa baru di  kelasnya.

Sebagai guru kelas, guru SD harus menguasai hampir seluruh mata ajar. Keberadaan guru kelas yang “dibebani” aneka tugas harian itulah kemudian pertimbangan sistem penilaian hasil belajar siswa diarahkan kepada bentuk penilaian yang “objektif”. Pengertian objektif di sini adalah mengacu kepada bentuk soal yang “pasti” jawabannya, karena sudah tersedia sebagai pilihan, atau dibatasi secara terukur. Sistem nilai yang demikian, menurut para ahli pendidikan, adalah yang paling mudah ditangani di sela "kesibukan” para guru. Dan, yang paling utama, sistem sentralisasi penilaian, seperti EBTA dan EBTANAS, menyebabkan pilihan penilaian objektif dianggap paling efektif.

Yang muncul kemudian, sebagai akibat sistem penilaian objektif tadi, semua pengukuran hasil belajar diarahkan kepada penilaian teoretis. Mata ajar keterampilan sekali pun,  karena tuntutan sistem penilaian tadi, harus dikondisikan dalam cara penilaian model objektif. Memang, dengan cara penilaian objektif, guru kelas khususnya, bisa lebih hemat waktu dalam menangani pengukuran keberhasilan belajar siswa. Tetapi, tentu ada sisi buruknya. Sisi buruk ini, seperti diakui oleh para guru, siswa cenderung menjadi penghafal, bukan penganalisis. Optimalisasi kemampuan pikir siswa kurang terolah lewat pola penilaian objektif tadi.

Seperti telah disebutkan, mata ajar kesenian, olah raga, dan mengarang (kalau masih dianggap sebagai mata ajar penting dalam kurikulum Bahasa Indonesia) masih lebih rasional kalau diukur dengan cara penilaian langsung ketika siswa menampilkan keterampilannya. Sangat tidak lucu, misalnya, keterampilan lari, berenang, menggambar, menyanyi, mengungkapkan buah pikiran dalam bentuk karangan, diuji keberhasilannya hanya dengan ujian teori. Akibat lainnya, mata-mata ajar tadi, tidak pernah menghasilkan nilai maksimal, nilai sepuluh, seperti pada mata ajar matematika misalnya. Hal ini, tentu bertalian dengan subjektivitas penilaian guru terhadap keterampilan siswa yang menggunakan tolok ukur bandingan dengan kemampuan guru sendiri.

 

PELURUSAN CARA PANDANG

 

Jika seorang siswa yang memiliki “modal inteligensi” sebesar biji jagung, kemudian setelah melalui proses pembelajaran modalnya menjadi bertambah besar, menjadi sebesar biji kedondong, tentu, kita akan menyebutnya sebagai siswa yang berhasil. Dalam kelas yang sama, ada siswa lain yang modal inteligensi awalnya sebesar biji kedondong, kemudian setelah belajar modalnya tetap sebesar biji kedondong, pasti kita sebut dia adalah siswa yang tidak berhasil. Tetapi, bila diandingkan besar modal setelah dilakukan evaluasi ternyata sama, sebesar biji kedondong, kita “wajar” kalau menilainya secara sama.

Kita mencoba menggunakan cara ukur yang melibatkan proses, bukan hasil akhir. Siswa manakah yang mengalami perubahan setelah proses pembelajaran? Jelas, yang modalnya sebesar biji jagung kemudian menjadi sebiji kedondonglah yang mengalami perubahan, mencapai kemajuan. Sedangkan yang modalnya sebiji kedondong sama sekali tidak mendapatkan kemajuan apa-apa. Lalu, wajarkah kalau kita menilai siswa yang mendapatkan kemajuan lebih tinggi perolehan nilainya daripada siswa yang tidak mengalami perubahan. Padahal dari sisi nilai akhir keduanya mencapai angka yang sama.

Ubahlah cara pandang kita. Pendidikan adalah pengubahan pola perilaku secara bertahap ke arah kemajuan. Hasil akhir setiap anak, jika dihitung dari sisi proses perubahan, akan berbeda nilainya dengan yang tetap, tidak berubah. Siswa yang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, seharusnya mendapat penghargaan lebih tinggi ketimbang siswa yang tidak menampakkan kemajuan. Tetapi, dalam pola penilaian matematis, pola penilaian objektif, hal itu akan dianggap aneh. Nilai akhir adalah segalanya. Dan, pola penilaian objektif seperti itu akan sangat mengabaikan usaha apa pun yang telah dilakukan oleh siswa. Hanya penilaian gaya mesinlah yang bisa demikian.

 

NILAI KEGIATAN MENGGAMBAR

 

Seperti disebutkan pada bagian awal tulisan, “beranikah seorang guru memberi nilai 10 untuk gambar yang dibuat seorang siswa yang hasilnya paling baik di kelas?” “Sangat mustahal”, kata Anda. Tetapi menurut saya, sangat bisa, sangat bijaksana, sangat bertanggung jawab, jika seorang guru berani memberi nilai dengan rentangan yang sama untuk semua bidang ajar. Mengapa? Matematika itu sangat objektif. Nilai perkalian angka 2 dengan 2, pasti 4. Siapa pun yang menjawab pertanyaan tadi, hasilnya harus empat. Kalau tidak 4 berarti jawabannya salah. Lalu, menilai gambar buatan anak? Ya, yang mirip bentuknya, yang bagus warnanya, yang lengkap unsurnya, baru bisa diberi nilai bagus. Gambar yang menyeleweng dari kemiripan? Itu mah nilainya cukup enam saja.

Sungguh, masih perlu contoh perbandingan yang lain. Jika anak kelas II SD diberi soal matematika untuk kelas VI, kita akan menganggap: “Itu tak mungkin. Tak bijaksana. Salah besar”. Dalam kondisi perumpamaan yang sama, seorang anak kelas II SD yang dituntut harus menghasilkan gambar yang sama seperti bisa dibuat oleh anak kelas VI, kita sebut: “Mustahil!”. Contoh yang lain, seorang anak SD disuruh menyanyikan lagu dengan kualitas nyanyian sama dengan penyanyi profesional; seorang anak SD diharuskan mampu berlari keliling lapangan seperti mahasiswa Jurusan Olah Raga; seorang anak SD disusruh menggubah puisi seperti buatan Taufiq Ismail; semua itu, jawabannya: “Sangat tidak mungkin!”

Baiklah. Anak-anak SD, masing-masing memiliki tingkat perkembangan kemampuan menggambar yang berbeda pada setiap tahapan usia dan kelas. Oleh karena itu, materi ajar menggambar harus sejalan dengan tingkat kemampuan anak. Seagaimana materi ajar lainnya, matematika misalnya, untuk setiap tingkatan kelas berbeda juga tingkat kesulitannya. Maka, tidak bijaksana seorang guru memberikan soal matematika untuk kelas VI kepada siswa kelas II. Ketidakmungkinan tersebut dikaitkan dengan tingkat kemampuan anak. Begitu pun dalam mengukur kemampuan anak dalam bidang menggambar. Anak kelas II SD yang tahap kemampuan menggambarnya baru pada masa bagan (semua bentuk digambar dengan mengutamakan bagan), semua objek digambar dengan mengabaikan perspektif, tidak akan klop jika dinilai dengan pola penilaian yang melebihi kemampuan masa perkembangannya. Artinya, menilai gambar anak dengan tolok ukur guru, sama dengan menilai kemampuan renang anak menggunakan cara nilai PON; dan menilai nyanyian anak dengan tolok ukur para juri lomba, sama dengan mengukur kemampuan matemtika anak dibandingkan dengan mahasiswa Fakutas Matematika. Sungguh malang anak yang: nilai kegiatan menggambar, olah raga, menyanyi, dan mengarangnya, tidak pernah mendapat angka 10! ***    

 

Make a Free Website with Yola.